Warta

PERKEMBANGAN PERADABAN ARAB PADA MASA JAHILIYAH DALAM KONTEKS PENDIDIKAN PADA MASA RASULULLAH DAN KHULAFAUR- RASYIDIN

Oleh Ali Muthahhari

Prinsip Dan Nilai Dasar Dakwah Rasulullah Saw Dalam Aspek Teologi, Etika, dan Sosial-Politik

Islam adalah salah satu agama Abrahamik yang memiliki akar sejarah yang sama dengan agama Yahudi dan Kristen. Sebagai agama Abrahamik, Islam mengakui keberadaan satu Tuhan yang sama dengan apa yang diyakini oleh Yahudi dan Kristen, yaitu Tuhan yang disebut Allah.

Sebenarnya, keyakinan akan adanya Tuhan yang Maha Esa sudah ada sejak sebelum manusia mengenal dewa-dewa. Keyakinan terhadap Tuhan yang tunggal (monoteisme) ini kemudian diteruskan oleh keturunan Nabi Ibrahim, termasuk Nabi Ismail dan Nabi Ishaq, hingga akhirnya dari jalur Islmail lahirlah Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir dalam agama Islam.

Nabi Muhammad memperkuat pengajaran tentang keberadaan satu Tuhan yang tunggal dan meneruskan ajaran-ajaran para nabi sebelumnya.Islam secara sederhana menjelaskan konsep monoteisme. Istilah monoteisme dalam bahasa Arab disebut “Tauhid” yang berasal dari kata “wahid/ahad” yang berarti penyatuan, kesatuan atau mempertahankan sesuatu agar tetap satu. Konsep ini dipahami melalui Syahadat (الشهادة(, yang merupakan pengakuan atau pernyataan kepercayaan akan keesaan Allah dan bahwa Muhammad adalah nabi-Nya. “Kalimat tauhid” yang berbunyi: “Lailahailallah” mengandung makna bahwa hanya ada satu Tuhan (ilah) yang layak untuk disembah, ditaati, diikuti nasihatnya, yaitu Allah.

Tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW memberikan dampak positif dalam kehidupan sosial penduduk Mekkah saat itu. Ahli sejarah mencatat periode sebelum kedatangan Islam sebagai al-Ayyam al-Jahiliyah (the day of the darkness: masa-masa kegelapan). Sebenarnya hal ini dikarenakan mereka tidak mengetahui agama, tata cara bermasyarakat, politik dan keesaan Tuhan. Maka nilai kemerdakaan yang terkandung dalam ajaran Tauhid yang dibawa oleh nabi Muhammad membebaskan manusia dari perbudakan mental dan penyembahan kepada makhluk lain, membawa semangat kemanusiaan dan berkeadilan serta menjaga manusia dari nilai-nilai palsu yang berasal dari hawa nafsu, ambisi berkuasa, dan kesenangan duniawi semata.

Dalam konteks menjaga hubungan antar sesama manusia (Mu’amalah), baik itu dalam ranah yang paling sederhana hingga ranah yang paling kompleks seperti bernegara, Islam sangat menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law). Hal demikian tercermin dalam khutbah nabi di Arafah pada 9 Dzulhijjah 9 H yang isinya adalah pengakuan terhadap HAM, pengakuan tentang Bangsa Arab tidak lebih utama dari bangsa lain, dan manusia dinyatakan memiliki derajat yang sama.

Kemudian pada hal yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial manusia. Islam sangat menerima adat istiadat dan budaya masyarakat apa pun selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Begitupun dalam penerapan sistem pemerintahan, agama Islam membolehkan penganutnya untuk memilih sistem apapun, sekalipun sistem tersebut datang dari kalangan non-Islam selama sistem yang diterapkan menjunjung tinggi prinsip-prinsip yang terkandung dalam Maqashidu-s-Syari’ah.

Maqashidu-s-Syari’ah merupakan hal-hal yang dikehendaki Allah untuk merealisasikan tujuan-tujuan manusia yang bermanfaat, atau untuk memlihara kemaslahatan umum mereka dalam berbagai tindakan. Adapun hal-hal yang dikehendaki tersebut ialah lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, yaitu agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal).

 

Lembaga Pendidikan Islam Pada Masa Rasulullah dan Khulafaur-Rasyidin

Pendidikan Islam bermula sejak awal mula datangnya agama Islam pada abad ke-7 Masehi di kawasan Arab. Pada masa itu, masyarakat Arab sangatlah buta huruf dan kebanyakan dari mereka hidup dalam kegelapan spiritual dan intelektual yang mencakup culture of silence dan structur poverty.

Ajaran Islam datang dengan membawa misi untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Arab. Rasulullah sendiri menjadi pengajar pertama dalam ajaran Islam. Beliau menularkan ajaran-ajarannya kepada para sahabat melalui metode pengajaran langsung dan contoh kehidupan yang diterapkan dalam praktek sehari-hari.

Pada masa Rasulullah SAW dan awal Islam, terdapat beberapa pusat pendidikan yang menjadi fokus perhatian. Namun, perlu dicatat bahwa pada masa itu belum ada lembagalembaga pendidikan formal seperti yang ada saat ini atau seperti yang dikembangkan di Yunani pada masa itu. Pendidikan pada saat itu lebih bersifat informal dan dilakukan melalui berbagai cara seperti pengajaran langsung dari Rasulullah SAW kepada para sahabat.

Lembaga pendidikan Islam pertama yanng diselenggarakan Rasulullah adalah lembaga pendidikan yang berada dalam rumah al Arqam bin Abi al Arqam di Mekkah. Dar al Arqam digunakan oleh Rasulullah SAW sebagai tempat untuk bertemu dan mengajar para sahabatnya.

Meskipun jumlah umat Muslim pada masa awal Islam masih sedikit, jumlahnya terus bertambah hingga mencapai 38 orang yang berasal dari berbagai latar belakang, seperti bangsawan Quraisy, pedagang, dan hamba sahaya. Setelah Islam berkembang luas, Rasulullah SAW menjadikan Mesjid sebagai pusat pendidikan dimana para sahabat menimba ilmu langsung dari Rasulullah. Para sahabat yang menjadi rujukan sahabat lainnya juga kerap mengadakan perkumpulan majlis ilmu di rumah mereka masing-masing seperti Ali bin Abi
Thalib, Abu Hurairah, dll.

Nabi Muhammad SAW juga mengadopsi lembaga pendidikan yang sudah ada sejak era Jahiliyah, yaitu Kuttab. Kuttab diproyeksikan untuk kegiatan pengembangan keterampilan membaca dan menulis yang mana keterampilan tersebut sangat penting untuk dimiliki umat muslim saat itu ditengah kebutuhan untuk mendokumentasikan wahyu dalam tulisan.

Sepeninggalnya Rasulullah SAW kepemimpinan umat Islam dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin. Hemat penulis, pada periode ini tidak ada perbedaan yang sangat kontras dalam sistem pendidikan karena Khulafaur Rasyidin melanjutkan sistem pendidikan yang semula diterapkan Rasulullah. Perkembangan pendidikan para periode ini sangat erat kaitanya dengan suasana politik pemerintahan yang terjadi pada saat itu.

Pada masa Jahiliyah Arab sebelum datangnya Islam, peradaban Arab tengah menghadapi tantangan dalam konteks pendidikan. Kebanyakan masyarakat Arab pada saat itu mengalami buta huruf dan terjebak dalam kegelapan spiritual dan intelektual. Namun, dengan kedatangan Islam dan peranan Rasulullah SAW serta Khulafaur-Rasyidin sebagai penerus estapeta perjuangan Rasulullah SAW, peradaban Arab mengalami kemajuan yang signifikan dalam bidang pendidikan. Melalui metode pengajaran langsung, contoh kehidupan yang diterapkan dalam praktek sehari-hari, dan adopsi lembaga pendidikan seperti Kuttab, Islam mampu meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Arab, membuka jalan bagi pengembangan keterampilan membaca dan menulis, serta membangun fondasi yang kuat untuk penyebaran ilmu pengetahuan. Indikator tersebut merupakan bukti bahwa Islam memberikan kontribusi besar dalam memajukan peradaban Arab pada masa Jahiliyah, khususnya dalam konteks pendidikan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button